This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 19 November 2011

Laporan Keuangan s/d November 2011

Jumat, 09 September 2011

Indahnya Persaudaraan Dalam Islam

Oleh Abi Lisani

Islam adalah diin yang bukan sekedar mengatur hubungan manusia dengan khaliqnya (hablum-minallaah/ hubungan vertikal) akan tetapi membimbing juga setiap pemeluknya untuk membina hubungan harmanis dengan sesama manusia dan alam sekitar (hablum-minanas/ hubungan horizontal). Orang yang sengsara di hari kiamat nanti, bukan hanya orang yang tidak membangun hubungan baik dengan Allah namun mereka yang tidak mampu mengaplikasikan tuntunan Allah dan rasulullaah dalam membangun hubungan harmonis dengan makhluk Allah swt. Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita berusaha untuk mentawazunkan (menyeimbangkan) antara hablum-minallaah dengan hablum-minannaas.

• Urgensi Persaudaraan

1. Nikmat Allah : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang ber-saudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu menda-pat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran : 103-104)
Dalam dua ayat tersebut tersebut terdapat tuntutan yang harus dilak-sanakan oleh muslim yang menjalin ukhuwah dalam Islam :
- komitmen terhadap al-Qur’an dan as-Sunah. Tidak menggunakan manhaj lain selainnya
- menjauhkan diri dari permusuhan dan perpecahan
- penyatu hati adalah mahabbah (cinta) kepada Allah
- mendakwahkan kebaikan
Dengan ukhuwah ini kaum muslimin tolong-menolong untuk melaksa-nakan tuntutan tersebut.

2. Merupakan arahan Rabbani : “… Dia-lah yang Memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para Mukmin, dan yang Mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah Mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal 8:62-63)
Allah-lah semata-mata pembangun ukhuwwah diantara hati-hati Mukminin.

3. Merupakan cermin kekuatan iman : “Tidak beriman salah seorang dari kalian sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari)
Betapa kuatnya korelasi antara ukhuwwah Islamiyah dan ‘iman’. Sehingga Rasulullah saw. mensyaratkan kecintaan kepada saudara sesama muslim sebagai salah satu unsur pembentuk iman. Iman sejati menghajatkan suatu rajutan persaudaraan yang kokoh di jalan Allah. Karena itu eksistensi ukhuwwah berbanding lurus dengan kondisi iman seseorang atau sekelompok jamaah. Semakin solid suatu ikatan persaudaraan fillah, makin besar peluang untuk anggotanya dikategorikan sebagai mukmin sejati (mu’min al haq). Sebaliknya ikatan bersaudara di jalan Allah ini bila rapuh, akan mengindikasikan suatu hakikat keimanan yang juga masih rendah tingkatnya.

TAHAPAN MEMBANGUN PERSAUDARAAN

Jalan menuju ukhuwah memiliki sejumlah tahapan, yang seorang muslim tidak bisa menggapai ukhuwah dengan saudaranya kecuali apabila melaluinya. Tiap tahapan ini memiliki rambu-rambu dan etika-etikanya, yang akhirnya akan berujung pada ukhuwah Islamiah yang kokoh.

1.a.i. Ta’aruf (saling mengenal)
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat 49:13)
Yang demikian itu mengharuskan seorang muslim mengenal saudaranya seiman. Bahkan ia harus mengetahui hal-hal yang disukai dan hal-hal yang tidak disukainya hingga dapat membantunya jika ia berbuat baik, memohonkan ampun untuknya jika ia berdosa, mendoakan untuknya dengan kebaikan jika tidak berada di tempat dan mencintainya jika ia bertaubat.

1.a.ii. Ta’aluf (saling bersatu)
Ta’aluf berarti bersatunya seorang muslim dengan muslim lainnya. “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” (Ali ‘Imran : 103)
“Walaupun kalian membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kalian tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal:63)
Rasulullah saw. bersabda : “Ruh-ruh itu ibarat tentara-tentara yang terkoordinasi; yang saling mengenal niscaya bersatu, sedangkan yang tidak saling mengenal niscaya berpisah.” (HR. Muslim)
Maka salah satu kewajiban ukhuwah adalah, hendaknya seorang muslim menyatu dengan saudaranya sesama muslim. Seiring dengan itu, hendaklah ia melakukan hal-hal yang bisa menyatukan dirinya dengan saudaranya.
Suatu faktor global yang bisa mewujudkan ta’aluf adalah: “Hendaklah seorang muslim konsisten melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.”

1.a.iii. Tafahum (saling memahami)
Hendaklah terjalin sikap tafahum (saling memahami) antara seorang muslim dengan saudaranya, yang diawali dengan kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, lalu dalam masalah-masalah cabang yang juga perlu dipahami secara bersama.
Bersikap husnudzan jangan su’udzan.
Seorang muslim yang berusaha mencapai tingat tafahum dituntut agar mampu mengendalikan diri, menguasai perasan dan emosi serta mengarahkan tingkah lakunya dan pergaulan ke arah kemanusiaan yang bermartabat, bersopan santun dan bertenggang rasa, tidak melukai perasaan atau menyakiti hati orang lain tanpa alas an.
Akhlak yang baik dapat merubah lawan yang dibenci menjadi kawan yang disenangi. Itu lebih baik daripada menambah musuh. “Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang diantaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Fushilat 41:34-35)
“Maka disebabkan Rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan-lah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali Imran 3:159)

1.a.iv. Ri’ayah (perhatian)
Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar ia bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya tersebut memintanya karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ia tunaikan. “Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu bentuk perhatian adalah hendaknya seorang muslim menutupi aib saudaranya.
“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba yang lain kecuali Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Bentuk perhatian lainnya adalah hendaknya ia berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan kecemasannya apabila sedang tertimpa kecemasan, meringankan kesulitan yang dihadapinya, menutupi aibnya dan membantunya dalam memenuhi kebutuhan.
“Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkkan satu kesusahannya di hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Bentuk perhatiannya lainnya adalah hendaknya ia menjalankan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Islam atasnya untuk saudaranya. “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam.” Ditanyakan, “Apakah keenam hak itu wahai Rasulullah?” Beliau saw. bersabda, “Jika engkau berjumpa dengannya maka ucapkanlah salam, jika ia mengundang maka penuhilah undangannya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah, jika ia bersin lalu memuji Allah maka ucapkanlah: yarhamukallah, jika ia sakit maka kunjungilah, dan jika ia meninggal maka antarkanlah jenazahnya.” (HR. Muslim)

1.a.v. Ta’awun (saling membantu)
Allah swt. telah memerintahkan hamba-hambanya yang beriman untuk bantu-membantu dalam melaksanakan kebaikan (al-birr) dan dalam meninggalkan kemungkaran yang disebut dengan (at-taqwa).
Indikasi-indikasi ta’awun yang dilaksanakan oleh orang-orang yang berukhuwah dalam Islam diantaranya :
- Ta’awun dalam memerintahkan yang ma’ruf, mengamalkan kebaikan, dan melaksanakan ketaatan sesuai dengan petunjuk Islam. Sebaik-baik sahabat adalah yang mengingatkanmu apabila lupa dan membantumu apabila ingat.
- Ta’awun dalam meninggalkan kemungkaran, hal yang diharamkan dan bahkan hal yang makruh
- Ta’awun dalam upaya terus-menerus mengubah manusia dari satu keadaan kepada keadaan lain yang lebih diridhai Allah swt.

1.a.vi. Tanashur (saling menolong)
Ia masih sejenis dengan ta’awun, tetapi memiliki pengertian yang lebih dalam dan lebih menggambarkan makna cinta dan loyalitas.
Tanashur diantara dua orang yang berukhuwah dalam Islam memiliki banyak makna, di antaranya :
- Seseorang tidak menjerumuskan saudaranya kepada sesuatu yang buruk atau dibenci
- Mencegah saudaranya dan menolongnya dari setan yang membisikkan kejahatan kepadanya dan dari pikiran-pikiran yang buruk yang terlintas pada dirinya untuk menunda pelaksanaan amal kebaikan
- Menolong menghadapi setiap orang yang menghalanginya dari jalan kebenaran
- Menolongnya, baik saat menzhalimi (dengan cara mencegahnya dari perbuatan zhalim) maupun saat dizhalimi (dengan berusaha menghindarkannya dari kezhaliman yang menimpanya)
Tidak akan terjadi tanashur diantara orang-orang yang bersaudara dalam Islam kecuali masing-masing bersedia memberikan pengorbanan untuk saudaranya, baik pengorbanan waktu, tenaga, maupun harta.

1.a.vii. Itsar (mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya sendiri)
Ketika bergolak medan peperangan Yarmuk, ada kisah emas tentang bagaimana ruh ukhuwwah sejati ditampilkan shahabat. Diketengahkan oleh al-Qurthubi tentang pengalaman seorang shahabat Rasulullah saw. “Aku bermaksud mencari keponakanku. Hendak kuberi minum ia pada saat-saat akhir menjelang ajalnya. Aku katakana padanya,” ‘Minumlah air ini.’ Dia menganggukkan kepala. Sejurus kemudian terdengar rintihan memelas shahabat disampingnya, penuh belas kasih. Keponakanku mengisyaratkan agar aku menemuinya. Ah, ternyata Husein bin ‘Ash. ‘Minumlah ini,’ kataku sambil menyodorkan air yang tadi kubawa. Husein menganggukkan kepada Namun berbarengan dengan itu terdengar seseorang di sampingnya mengerang kehausan. Husein menyuruhku agar memberikan air kepada orang tersebut. Ketika kutemui shahabat tadi, ia sudah gugur. Lantas aku bergegas kepada Husein, iapun telah gugur. Kemudian aku menuju keponakanku, dan .. ia pun telah pulang ke pangkuan Rabb-nya.
Sementara itu, di episode lain dari sekian puluh kejadian-kejadian sirah Rasulullah dan para shahabat, adalah Abdurrahman bin Auf yang Muhajirin dan Sa’ad bin Rabi’ yang Anshar. Selayaknya kaum Muhajirin yang meninggalkan kampung halaman tanpa banyak perbekalan, Ibnu Auf mulanya jelas terbilang miskin. Sebaliknya Sa’ad bin Rabi’ adalah aghniya, hartawan dengan kekayaan melimpah. Keduanya dipersaudarakan oleh Rasulullah saw. Terjadilah dialog dengan muatan ruh ukhuwwah Islamiyah sejati antara keduanya. Berkata Sa’ad, “Akhi, aku adalah penduduk Madinah yang kaya. Pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku punya dua istri, pilih yang menarik hatimu, biar nanti kucerai salah satunya hingga engkau bisa memperistrikannya.”
Dengan penuh kasih Abdurrahman bin Auf menjawab, “Semoga Allah merahmatimu, harta dan istri-istrimu. Sekarang, tolong tunjukkan di mana letak pasar, biar aku bisa berdagang.”
Dua penggal kisah diatas merupakan kisah sejati yang menggambarkan ruh itsar kepada kita.
Kalau dicermati, fenomena persaudaraan pada sahabat itu senantiasa dimulai dengan keikhlasan untuk memikul sekian keprihatinan perjuangan. Pementasan ukhuwwah Islamiyah para shahabat berada di sebuah panggung kehidupan yang bernama ‘jihad di jalan Allah’. Kejadian-kejadian dahsyat dalam sejarah tadi beruanglingkupkan atmosfir penegakan kalimat Allah dalam pengertian yang sebenar-benarnya.
Pribadi-pribadi yang bertemu dalam forum ukhuwwah Islamiyah adalah pribadi-pribadi yang telah memiliki kesamaan pemahaman terhadap problematika ummat, sadar terhadap kewajibannya sebagai muslimin taat. Mereka mempunyai kepedulian tinggi, keterlibatan dan rasa memiliki terhadap nasib ummat. Mereka terkondisi untuk selalu memikirkan bagaimana dakwah harus dijalankan. Terikat satu sama lain dalam tugas suci meninggikan kalimat Allah. Ini dilakoni oleh mereka dalam segala suasana: sedih, tragis, suka, untung atau mengharukan. Semuanya dikerjakan secara bersama senasib dan sepenanggungan.
Menyimak latar belakang itu, wajar jika para shahabat begitu spektakuler dalam menampilkan ruh ukhuwwah Islamiyah. Ini terjadi ternyata diawali oleh pra kondisi yang pengundang perasaan heroik. Ada suasana perjuangan yang mengharukan. Beban tanggung jawab yang sama terhadap kebenaran menjadikan mereka bisa bahu-membahu satu dengan yang lain.
Dengan ini maka solidaritas yang dibangun adalah yang mengarah pada visi keummatan. Bukan solidaritas kelompok yang justru bisa menghambat lahirnya ukhuwwah.
Pada akhirnya, egoisme golongan dapat ditekan sekecil mungkin atau dimusnahkan. Ketika tidak lagi berpikir tentang kelompok, kemudian mengarahkan keterlibatannya pada hal-hal yang besar yang dihadapi ummat, menanggung keprihatinan-keprihatinan bersama atas kondisi dakwah; mereka lebih mungkin berbicara soal ukhuwwah Islamiyah sejati. Tanpa adanya pra kondisi ini, tanpa mewujudkan lebih dahulu kesadaran terhadap perjuangan dakwah, rasa-rasanya ukhuwwah sejati akan sulit diwujudkan. “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr:9)

HAL-HAL YANG MENGUATKAN PERSAUDARAAN :

1. Memberitahukan kecintaan pada yang kita cintai
Bersabda Nabi saw.: Jika seorang cinta kepada saudaranya harus memberitahu kepadanya bahwa ia kasih sayang kepadanya karena Allah. (HR. Abu Dawud)
Anas r.a. berkata: Ada seorang duduk di sisi Nabi saw. mendadak ada seorang berjalan, maka orang itu berkata: Ya Rasulullah saya sungguh cinta pada orang itu. Nabi bertanya: Apakah sudah kauberitahu padanya, bahwa kau cinta padanya? Jawabnya: Belum. Bersabda Nabi saw.: Beri-tahukanlah ia. Maka dikejarnya dan dikatakan kepadanya: Sesungguhnya saya cinta padamu karena Allah. Jawabnya: Semoga Allah cinta kepadamu, sebagaimana kau cinta kepadaku karena Allah. (HR. Abu Dawud)
2. Memohon dido’akan bila berpisah
3. Menunjukkan kegembiran & senyuman bila berjumpa
4. Berjabat tangan bila berjumpa (kecuali non-muhrim)
Bersabda Rasulullah saw.: Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, kamu tiada dapat masuk sorga sehingga percaya (beriman) dan tidak percaya (beriman) sehingga kasih sayang pada semua manusia. Sukakah saya tunjukkan perbuatan, kalau kamu kerjakan timbul rasa kasih saying? Sebarkanlah salam di antara kamu. (HR. Muslim)
5. Mengucapkan selamat berkenaan dengan saat-saat keberhasilan
6. Memberikan hadiah pada waktu-waktu tertentu
7. Sering bersilaturahmi (mengunjungi saudara)
8. Memperhatikan saudaranya & membantu keperluannya
9. Memenuhi hak ukhuwah saudaranya

HAK-HAK PERSAUDARAAN 

Hak-hak seorang Muslim atas Muslim lainnya secara umum :
1. Menutupi Aib Saudara Seiman
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzhalimi atau mencelakakannya. Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya sesama muslim dengan menghilangkan satu kesusahan darinya, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan di hari kiamat. Dan barangsiapa menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari)

2. Membela Saudara Seiman yang Digunjing
Pada dasarnya, ia tidak boleh mendengarkan kata-kata buruk yang diarahkan untuk menggunjing saudaranya seiman, akan tetapi apabila terlanjur terjadi dan ia mendengarnya, ia berkewajiban membela dan membantah penggunjingannya, demi memenuhi hak saudaranya seiman.
“Apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Jika setan menjadikan lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am:68)
“Barangsiapa membela kehormatan saudaranya, Allah akan menjauhkan neraka dari wajahnya pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi)

3. Memaafkan Saudara Seiman
“Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang Dia sediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:133-134)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf:199)
“Akan tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syura:43)

4. Berbuat Baik terhadap Saudara Seiman
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar berlaku adil dan berbuat baik.” (An-Nahl:90)

a. Mengunjungi, menjenguk, dan memberinya hadiah, tidak membeli barang yang sudah dibelinya dan tidak mendiamkannya melebihi tiga hari “Ada seorang lelaki mengunjungi saudaranya di suatu desa. Maka Allah mengutus seorang malaikat untuk menemuinya. Ketika sampai, utusan itu berkata, ‘Hendak kemanakah engkau?’ ‘Aku hendak menemui saudaraku yang berada di desa ini,’ jawab lelaki itu. ‘Apakah engkau menginginkan suatu nikmat tertentu yang hendak kau dapatkan darinya?’ ‘Tidak, aku hanya mencintainya karena Allah,’ jawab lelaki itu. ‘ Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya.’” (HR. Muslim)
“Barangsiapa menjenguk orang yang sakit atau mengunjungi saudaranya seiman karena Allah, ada (malaikat) yang memanggilnya, ‘Bagus engkau, bagus pula perjalananmu. Semoga engkau menempati rumah di dalam surga.” (HR. Muslim)
“Apabila seorang muslim berkunjung kepada saudaranya seiman, hakikatnya ia berada di kebun surga, sampai ia kembali.” (HR. Muslim)
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah niscaya kalian saling mencintai dan hilanglah rasa benci.” (HR. Malik)
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kemarahan di dada. Janganlah seorang yang bertetangga mencela hadiah dari tetangganya, walaupun hanya berupa kuku kambing.” (HR. Tirmidzi)
‘Janganlah salah seorang dari kalian menjual barang yang sudah dibeli orang lain dan janganlah kalian melamar perempuan yang sudah dilamar oleh orang lain.” (HR. Tirmidzi)
“Tidaklah dihalalkan bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam. Keduanya saling bertemu namun satu sama lain saling berpaling. Orang yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai dengan salam.” (HR. Muslim)

b. Memberikan senyuman dan membantunya sesuai dengan kemampuan. “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah. Amar ma’ruf nahi munkar yang kau lakukan adalah sedekah. Engkau menunjuki seseorang yang tersesat di suatu tempat, juga merupakan sedekah bagimu. Jika engkau menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan juga merupakan sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi)
“Setiap kebaikan adalah sedekah, dan diantara kebaikan itu adalah: engkau menjumpai saudaramu dengan wajah berseri.” (HR. Tirmidzi)
“Janganlah kau meremehkan kebaikan sekecil apapun, sekalipun sekadar wajah berseri yang kau berikan ketika berjumpa saudaramu.” (HR. Muslim)

c. Tidak menimpakan bahaya dan tidak mengancam, baik dengan serius maupun sekedar bergurau, seremeh apa pun, baik bersifat material maupun nonmaterial : Terkutuklah siapa saja yang menimpakan bahaya atau membuat tipu daya atas seorang mukmin.” (HR. Tirmidzi)
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, sedangkan memeranginya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa mengacungkan sepotong besi (mengancam) kepada saudaranya, malaikat melaknatinya sampai ia meninggalkannya, meskipun itu dilakukan terhadap saudara seayah atau seibu.” (HR. Muslim)
“Janganlah salah seorang dari kalian mengacungkan senjata kepada saudaranya, karan ia tidak tahu jika setan menggerakkan tangannya sehingga ia terperosok ke lubang neraka.” (HR. Muslim)

d. Memenuhi kebutuhan-kebutuhannya : “… dan Allah menolong hamba-Nya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Tirmidzi)
“… dan barangsiapa tengah memenuhi hajat saudaranya, niscaya Allah memenuhi hajatnya.” (HR. Bukhari)
“Setiap muslim harus bersedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana dengan orang yang tidak memiliki harta?” Beliau bersabda, “Bekerjalah dengan tangannya, sehingga ia bermanfaat bagi dirinya lalu bersedekah.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana kalau ia tidak punya?” Beliau bersabda, “Membantu orang yang membutuhkan lagi meminta pertolongan.” Mereka bertanya, “Kalau tidak bisa?” Beliau bersabda, “Hendaklah ia melakukan kebajikan dan menahan diri dari kejahatan, karena keduanya merupakan sedekah baginya.” (HR. Bukhari)
Derajat paling minimal dalam memenuhi kebutuhan saudaranya adalah memenuhi kebutuhannya ketika ia memintanya.

5. Menahan Diri dari Membicarakan Aib Saudaranya Seiman
a. Tidak menyebut aib saudaranya dengan lisan
“Orang-orang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lidah dan tangannya.”
“Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya.” (al-Hujurat:12)
b. Tidak menyebut aib saudaranya di dalam hati
“Hendaklah kalian menjauhi prasangka, karena prasangka itu merupakan sedusta-dusta perkataan.” (HR. Bukhari)
“Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang berukhuwah…” (HR. Muslim)
c. Hak untuk tidak didebat
Rasulullah saw. bersabda: “Aku menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan sekalipun ia benar, satu rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun bergurau, dan satu rumah di tempat tertinggi surga bagi siapa saja yang berakhlak mulia.” (HR. Abu Dawud)
“Tinggalkanlah perdebatan karena sedikit kebaikannya. Tinggalkanlah perdebatan karena manfaatnya sedikit dan bisa menimbulkan permusuhan sesama saudara.” (HR. Dailami)
“Janganlah engkau mendebat saudaramu, jangan mempermain-kannya, jangan pula memberi janji kepadanya lalu mengingkarinya.” (HR. Tirmidzi)
d. Hak untuk tidak disebarkan rahasianya
Nabi saw. bersabda: “Tidaklah dua orang duduk bercakap-cakap kecuali dengan amanah. Tidaklah dihalalkan bagi salah satu dari keduanya untuk menyebarkan rahasia sahabatnya yang tidak diinginkannya.” (HR. Abu Bakar bin Bilal)

6. Hak untuk Dibicarakan oleh Saudaranya dengan Apa yang Disukainya ;
a. Hak untuk dipanggil dengan nama yang paling disukai
Umar ra. berkata, “Ada dua hal yang bisa menjernihkan cintamu kepada saudara-saudaramu: hendaklah engkau mengucapkan salam kepadanya terlebih dahulu ketika berjumpa, dan panggillah ia dengan nama yang paling disukainya.”
b. Memuji kebaikan-kebaikan yang diketahuinya
Memuji yang dimaksud berbeda dengan menyanjung di hadapan orang yang disanjung, karena sikap yang terakhir ini dicela Islam.
Pujian ini semakin penting apabila ia memuji kebaikan-kebaikan saudaranya di hadapan orang yang bisa mendapatkan manfaat dari pujian tersebut, sehingga orang tersebut memperbaiki pandangannya terhadap orang yang dipuji.
Adalah merupakan salah satu etika Islam apabila seorang muslim memuji saudaranya seiman, hendaklah mengatakan, “Saya kira dia demikian, saya tidak menyucikan seorang pun dihadapan Allah.”
c. Menyampaikan kepada saudaranya pujian orang lain
d. Berterima kasih terhadap kebaikannya
“Barangsiapa diperlakukan baik, lalu berkata kepada pelakunya, ‘Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik,’ berarti ia telah berterima kasih.” (HR. Tirmidzi) 

7. Hak untuk Mendapatkan Nasihat dan Pengajaran
“Agama adalah nasihat,” Sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Nabi saw. menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan orang-orang awam di antara mereka.” (HR. Muslim)
a. Jauhkan nasihat dari tujuan mencari muka
Nasihat disebut sebagai usaha mencari muka, jika engkau menasihati saudaramu untuk kepentinganmu sendiri atau untuk mewujudkan ambisimu. Nasihat semacam ini tidak membawa kebaikan bagi saudaramu, namun membawa kebaikan bagi dirimu sendiri.
b. Menahan diri
Salah satu etika nasihat adalah, hendaknya penasihat menahan diri dari sikap yang mengharuskannya memberi nasihat untuk beberapa waktu. Diperbolehkannya menahan diri ini harus dengan syarat bahwa sikap ini benar-benar memberi kemaslahatan agama dan keselamatan bagi pelakunya.
c. Hendaknya aib yang dinasihatkan untuk ditinggalkan itu tidak disadari oleh pelakunya
d. Hendaklah ditunjukkan aibnya
Umar bin Khathab ra. pernah meminta kepada saudara-saudaranya untuk menunjukkan aib dirinya. Ia berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aib saudaranya.”
e. Yang dinasihati harus mencintai penasihatnya
Jika itu dilakukan tentu akan mengundang rasa cinta dan simpati lebih dalam.
f. Menahan diri dari menasihati atas sifat bawaan seseorang, Karena terkadang aib yang terdapat pada seseorang merupakan pembawaan yang ia tidak bisa melepaskan diri darinya. Namun apabila ia memperlihatkan aib itu, hendaklah saudaranya memberi nasihat dengan lemah lembut.
g. Hendaklah berlapang dada dan memaafkan

8. Hak untuk Mendapatkan Kesetiaan (Wafa’)
Sikap setia adalah sikap konsisten dalam mencintai baik ketika saudaranya masih hidup maupun setelah kematiannya.

9. Hak untuk Diringankan Bebannya
a. Tidak membebani dengan sesuatu yang memberatkan
b. Jangan sampai orang lain meminta untuk dipenuhi hak-haknya
c. Tidak meminta orang lain rendah hati kepadanya ; Rendahkanlah hatimu terhadap orang-orang yang mengikuti-mu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara:215)
d. Mempergauli saudaranya sesama muslim dengan bersahaja tanpa takalluf (memaksakan diri)
e. Hendaknya seorang muslim berprasangka baik kepada saudaranya dan memandangnya lebih baik daripada dirinya sendiri

10. Hak Seorang Muslim atas Muslim yang Lain untuk Didoakan, Baik Semasa Hidupnya maupun setelah Mati
“Orang-orang yang datang setelah mereka mengatakan, ‘Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau jadikan di dalam hati kami perasaan dengki terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr:10)

BUAH MEMBANGUN PERSAUDARAAN

1. Merasakan lezatnya iman
Bersabda Nabi saw. : Tiga sifat siapa yang memilikinya akan merasakan kelezatan iman: (1) Jika ia mencintai Allah dan Rasulullah lebih dari lain-lain-Nya (2) Jika ia mencintai sesama manusia semata-mata karena Allah (3) Jika engkau membenci kembali kepada kafir setelah diselamatkan Allah daripadanya sebagaimana engkau enggan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat
Bersabda Nabi saw. : Tujuh macam orang yang bakal dinaungi Allah di bawah naungan-Nya, pada hari tiada naungan kecuali naungan Allah; (1) Pemimpin (raja) yang adil. (2) Pemuda yang rajin dalam ibadat kepada Allah. (3) Seorang yang selalu gandrung hatinya pada masjid. (4) Dua orang yang kasih sayang karena Allah, baik di waktu berkumpul atau berpisah. (5) Seorang lelaki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan cantik kemudian ia berkata: Saya takut kepada Allah. (6) Seorang bersedekah dengan diam-diam sehingga tangan yang sebelah kanan tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan sebelah kirinya. (7) Seorang yang ingat (berdzikir) pada Allah dengan sendirian, maka mencucurkan air mata. (HR. Bukhari, Muslim)
“Pada hari kiamat Allah akan berfirman: Di manakah orang yang kasih sayeng karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat di mana tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim)


Maraji’
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Al-Ukhuwwah al-Islamiyah, takwin as-Syaksyiyah al-Insaniyah
Dr. Abdul Halim Mahmud, Fiqh Al-Ukhuwwah fi Al-Islami
Ust. Husni Adham Jarror, Bercinta dan Bersaudara karena Allah
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Meraih Nikmatnya Iman